Jakarta - Pelindungan hak cipta bermula dari banyaknya sengketa yang terjadi terhadap karya cipta di Eropa. Saat itu, era literasi sedang meningkat dan orang-orang mulai mengakui karya orang lain sebagai karyanya. Hal tersebut disampaikan oleh Tere selaku Konsultan Kekayaan Intelektual pada webinar IP Talks: Edukasi Kekayaan Intelektual seri keempat dengan tema Performing Rights dalam UU Hak Cipta secara daring, Senin, 23 September 2024.
“Dengan banyaknya sengketa terjadi, disitulah mulai adanya pelindungan hak cipta. Itulah yang kemudian berkembang menjadi instrumen hak cipta yang di mana di dalamnya melingkupi karya sastra dan seni,” ungkap Tere.
“Sekarang karya-karya ini semakin banyak macamnya karena kita berjibaku dengan dunia digital. Ini semua sudah disepakati sejak adanya Berne Convention yang menjadi aturan kesepakatan tertua pengaturan hak cipta di dunia, yaitu pada tahun 1886,” lanjutnya.
Pelindungan hak cipta sendiri diberikan kepada pemilik hak cipta selama hidup pencipta sampai dengan 70 tahun sejak pencipta meninggal dunia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Sampai dengan berakhirnya pelindungan, pencipta masih mendapatkan keuntungan berupa materi dan moril dari karya yang telah dihasilkan.
Dalam pelindungannya, hak cipta memiliki beberapa prinsip yang harus dipahami. Hal ini juga bersangkutan dengan TRIPS agreement yang telah disepakati dunia. Prinsip tersebut dibagi menjadi dua, yaitu prinsip menggandakan dan mengumumkan.
“Menggandakan adalah ketika seseorang memiliki sebuah karya yang sudah fiksasi dan dapat diakses oleh publik, kemudian karya tersebut digandakan atau diperbanyak. Contohnya, seperti lagu yang diperbanyak melalui media vinyl atau kaset,” jelas Tere.
“Di zaman digital ini, fungsi tersebut bergeser di mana sekarang lagu-lagu tersebut dapat diakses secara secara luas melalui streaming. Streaming sendiri masuk ke area hak untuk mengumumkan,” lanjutnya.
Menurutnya, kita sebagai masyarakat harus menyadari bahwa saat ini Undang-Undang (UU) Hak Cipta sudah sangat signifikan. Seperti saat seorang content creator memasukan karyanya ke media sosial dan menggunakan musik latar atau backsound. Orang tersebut harus mengecek lagu yang digunakan milik siapa dan hak siapa.
“Jangan sampai kita melakukan pelanggaran terhadap kepemilikan hak cipta. Kita harus izin dulu sebelum menggunakan karya orang lain sehingga kita tidak melanggar hak orang tersebut. Selain itu, juga ada yang hak terkait, termasuk ke dalamnya hak untuk produser dan pelaku pertunjukannya,” ujar Tere.
Di akhir sesi tersebut, Tere menyampaikan mengenai kisah lagu Bengawan Solo yang saat ini masih mendapatkan royaltinya di negara Jepang. Hal tersebut merupakan wujud penghargaan bagi Gesang selaku pencipta lagu tersebut.
“Yang pasti kita jangan sampai lupa tujuan kita dari berkarya untuk apa, yaitu kita berkarya untuk dikenang,” pungkas Tere.
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menerima audiensi dari Konsultan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Perkumpulan Reproduksi Cipta Indonesia (PRCI) pada Jumat, 13 Juni 2025, di Ruang Rapat Gedung DJKI, Jakarta. Pertemuan ini membahas usulan terkait penyusunan pedoman royalti bagi karya cipta tulis.
Jumat, 13 Juni 2025
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum Republik Indonesia menyelenggarakan kegiatan Sosialisasi Pemeriksaan Substantif Indikasi Geografis secara daring sebagai bagian dari upaya percepatan pelayanan publik serta penyesuaian terhadap kebijakan efisiensi anggaran nasional.
Kamis, 12 Juni 2025
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Kementerian Hukum Republik Indonesia, turut berpartisipasi aktif dalam forum internasional bertajuk Indonesia’s Success Stories yang diselenggarakan di Park Hyatt Jakarta pada Rabu, 11 Juni 2025. Kegiatan ini merupakan kerja sama antara Motion Picture Association (MPA), Kementerian Kebudayaan, serta berbagai asosiasi film nasional dan internasional.
Rabu, 11 Juni 2025
Senin, 16 Juni 2025
Senin, 16 Juni 2025
Jumat, 13 Juni 2025