DJKI akan Melakukan Revisi Peraturan Turunan UU Hak Cipta terkait Pemanfaatan Ekonomi Musik/Lagu

Jakarta -  Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM sempat mengundang para musisi performers, pencipta lagu yang tergabung dalam Komposer Indonesia Bersatu, Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) untuk duduk bersama pada 11 Mei 2023. Pertemuan ini membahas pengaturan pengelolaan hak moral dan hak ekonomi pencipta atas penggunaan karya cipta lagu yang bersifat komersial. 

Pertemuan tersebut merupakan komitmen DJKI  yang menjadi focal point dalam pelindungan Kekayaan Intelektual (KI) termasuk pencatatan hak cipta, pelindungan, pengawasan, serta penegakan hukumnya. Dalam pertemuan tersebut, disebutkan bahwa DJKI telah menerbitkan Undang Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menjadi dasar pelindungan hak cipta lagu dan/musik. 

DJKI juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik serta Peraturan Menteri Nomor 9 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Namun, Peraturan Perundang-undangan tersebut dianggap belum menjawab kebutuhan para pencipta lagu, komposer hingga musisi.

“Saat ini, pada sejumlah pasal di UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta terdapat ketimpangan dan bertentangan satu dengan yang lainnya,” tutur Doadibadai Hollo atau yang dikenal dengan sapaan Badai eks Kerispatih, pada Focus Group Discussion (FGD) Pembahasan Rancangan Peraturan Perundang - Undangan terkait Pengelolaan Hak Ekonomi Pencipta/Pemegang Hak Cipta atas Penggunaan Karya Cipta Lagu pada Layanan Publik Bersifat Komersil di Hotel Gran Melia, Jakarta tanggal 11 Mei 2023. 

Badai menjelaskan ada ketentuan pada Pasal 9 ayat (2), pasal 23 ayat (5), dan Pasal 87 ayat (4) UU Hak Cipta yang dia rasakan bertentangan. Pada Pasal 9 ayat (2), negara telah mengatur hak pencipta/pemegang hak cipta dalam mengelola hak ekonominya, termasuk memberikan izin pada pihak tertentu untuk mengkomersilkan lagu/musik. Sementara itu, pada pasal 23 ayat (5) menyebut bahwa pelaku pertunjukan komersial bisa melakukan pertunjukkan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui LMK. 

Adapun pada Pasal 87 ayat 4 berbunyi “Tidak dianggap sebagai pelanggaran UU ini, pemanfaatan  Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait secara komersial oleh pengguna, sepanjang melakukan dan memenuhi kewajiban sesuai perjanjian dengan LMK”.

Para komposer merasa pemanfaatan lagu dan/atau musik (hak ekonomi) tetap harus mendapatkan izin dari pencipta/pemegang hak cipta. Hingga sampai saat ini para komposer/pencipta lagu masih merasa dirugikan secara ekonomi dan/moral karena banyak performer telah memanfaatkan lagu/musik tanpa izin.

Merespon hal tersebut, Mien Usihen selaku Direktur Jenderal KI menyampaikan bahwa ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 23 ayat (5) serta Pasal 87 ayat (4) tersebut saling bersinergitas dan tidak bertentangan. Namun demikian masih dipandang perlu pengaturan lebih lanjut mengenai implementasi pelaksanaannya dan mekanisme pemberian izin terkait penggunaan lagu secara komersial di samping adanya kewajiban pembayaran royalti.

“Pada dasarnya kita semua sepakat bahwa pemanfaatan hak ekonomi itu tetap harus mendapatkan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta,” kata Mien pada 26 Mei 2023 di kantornya di Rasuna Said, Jakarta Selatan.

“Kami menyadari perlu ada pengaturan dalam tatanan implementasi dan pelaksanaannya terkait pemberian izin penggunaan lagu secara komersial di samping pemberian royalti. Ini akan menjadi masukan bagi pemerintah dalam revisi UU Hak Cipta atau turunan pelaksanaannya,” lanjutnya.

Oleh karena itu, Mien mengatakan akan membuat atau merevisi aturan pelaksanaan dari UU Hak Cipta yang diharapkan menjadi solusi yang dapat menjawab permasalahan para musisi dalam waktu relatif lebih cepat. Sementara dalam jangka panjang, DJKI berupaya untuk merevisi UU Hak Cipta agar relevan terhadap perkembangan zaman. (ver/kad)



LIPUTAN TERKAIT

Ketika Kata Menjadi Karya: Hak Cipta dan Kebebasan Pers yang Tak Bisa Dipisahkan

Di balik setiap berita yang kita baca, dari headline daring hingga kolom opini di koran pagi, tersimpan kerja keras para jurnalis yang menakar fakta dengan nurani dan merangkai kata dengan nurani dan ketelitian. Namun, sayangnya, masih banyak yang lupa bahwa tulisan-tulisan ini bukan sekadar informasi; mereka adalah karya intelektual. Dan seperti karya seni lainnya, tulisan jurnalistik juga punya pemilik, yaitu penulisnya.

Sabtu, 3 Mei 2025

Fenomena Sound Horeg dan Potensi Kekayaan Intelektual di Baliknya

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena sound horeg menjadi tren yang berkembang di tengah masyarakat, khususnya dalam kegiatan hiburan di ruang publik seperti pesta pernikahan, arak-arakan, hingga panggung hiburan rakyat. Atraksi ini memiliki ciri khas menggunakan speaker atau sound system yang memiliki daya besar dan memutar lagu-lagu populer dengan aransemen yang unik, serta terkadang disertai dengan pertunjukan visual atraktif.

Rabu, 30 April 2025

Dirjen KI Dorong Pemda Tanah Datar Gencarkan Promosi Songket Pandai Sikek dan Potensi KI Lain

Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (Dirjen KI) Razilu, melakukan audiensi ke kantor Wali Kota Tanah Datar pada 30 April 2025. Dalam pertemuan tersebut, agenda utama yang dibahas adalah penguatan promosi produk indikasi geografis (IG) terdaftar Songket Pandai Sikek, serta pemanfaatan potensi kekayaan intelektual (KI) lainnya di Kabupaten Tanah Datar.

Rabu, 30 April 2025

Selengkapnya