Kesadaran Masyarakat tentang Kekuatan Produk Lokal untuk Mengglobal Masih Rendah

JAKARTA - Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, kebudayaan hingga kerajinan tangan yang indah memiliki potensi ekonomi tinggi. Kendati demikian, kesadaran masyarakat Indonesia mengenai kekuatan produk lokal atau Indikasi Geografis (IG) masih rendah. Masyarakat Tanah Air, baru khawatir mengenai produk asli Indonesia ketika negara lain mengklaimnya.

Indikasi geografis adalah adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.

Tanda yang digunakan sebagai Indikasi Geografis dapat berupa etiket atau label yang dilekatkan pada barang yang dihasilkan. Tanda tersebut dapat berupa nama tempat, daerah, atau wilayah, kata, gambar, huruf, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut.

“Kesadaran masyarakat mengenai produk indikasi geografis ini masih kurang. Kita sudah berusaha melindungi kekayaan kita agar tidak digunakan negara lain yang menurunkan reputasi dari produsen. Tapi jika tidak ada yang menghargai produk tersebut, tidak ada yang menjaganya, pasti tidak akan ada lagi yang memproduksi, apalagi untuk barang-barang kerajinan ya,” ujar Kepala Seksi Pemeriksaan Indikasi Geografis, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dalam IP Talks From Home bertajuk The Right Marketing for the Hidden Gems in Your Area pada Sabtu (25/4) yang disiarkan secara live streaming melalui YouTube DJKI Kemenkumham.

Hanna Keraf, Chief of Community & Partnership Du Anyam sepakat dengan pendapat tersebut karena dalam pengalamannya menjalankan perusahaan yang menjual kerajinan tangan lokal, Hanna melihat bahwa masyarakat Indonesia tidak menyadari bahwa ada banyak jenis anyaman, sama halnya dengan batik dan tenun.

Ada teknik pemasaran yang digunakan di perusahaan berbasis sosial yang dibangunnya itu agar produk lokal kerajinan tangan yang dihasilkan diterima pasar. Dia mengatakan bahwa cerita mengenai produk mulai dari bahan baku, motif, filosofi, siapa pembuat produk, asal hingga sejarah produk ditampilkan dengan berbagai cara agar diketahui konsumen.

“Kami selalu mencoba berusaha mengangkat nama lokal fungsi adat dari produk tersebut.  Kami mencerita produk misalnya namanya Dese. Dese ini dibuat dari bahan lontar dan ketika menjualnya pun kami tetap bahwa ini adalah keranjang Dese. Kami juga ceritakan bahwa keranjang ini di NTT digunakan untuk mengisi seserahan untuk menikah. Biasanya, cerita ini yang selalu ingin didengar konsumen,” paparnya.

Hanna mengatakan bahwa produk kerajinan tangan buatan ibu-ibu pengrajin Du Anyam akan selalu dipasarkan dengan story tag. Story tersebut dapat disesuaikan berdasarkan ukuran dan kebutuhan klien, sebab tak jarang Du Anyam mengirimkan produknya sebagai suvenir institusi lain atau diekspor ke luar negeri. 

“Selain itu, kami juga melakukan kolaborasi bersama brand lain. Kami pilih brand yang memiliki visi dan nilai yang sama. Tujuannya untuk membantu mengedukasi pasar pentingnya menghargai kelokalan di seluruh Indonesia,” lanjutnya. 

Layaknya pemasaran oleh perusahaan lain, Du Anyam juga menggunakan media sosial dan website untuk menceritakan sisi lain di balik pembuatan produk-produknya, mulai dari kearifan lokal, cara pembuatan, profil pengrajin anyaman hingga trip menuju desa-desa pembuat anyaman. 

Meski demikian, seluruh upaya marketing itu juga disebut Hanna harus dibarengi dengan sistem penjagaan kualitas produk, manajemen produksi serta distribusi yang baik. Gunawan mengatakan tidak semua perusahaan mampu menjaganya sehingga dibutuhkan pendaftaran Indikasi Geografis agar produk lokal diakui, dilindungi dan didukung negara.

“Pentingnya mendaftarkan produk indikasi geografis tentunya adalah memberikan nilai tambahan pada produk seperti yang tadi diceritakan Mbak Hanna dengan story produk Du Anyam, jadi dengan begitu harga produk akan jauh lebih tinggi,” jelas Gunawan.

“Pendaftaran juga akan melindungi produk wilayah agar tidak diklaim oleh wilayah atau negara lain. Mutu produk juga akan terjaga karena pendaftaran ini mengharuskan ada mekanisme penjagaan kualitas produk. Dan yang terakhir adalah untuk pengembangan wilayah, agar anak-anak muda tidak perlu ke kota demi mencari nafkah,” pungkasnya.

Penulis: DAW
Editor: KAD


TAGS

#Agenda KI

LIPUTAN TERKAIT

Ketika Kata Menjadi Karya: Hak Cipta dan Kebebasan Pers yang Tak Bisa Dipisahkan

Di balik setiap berita yang kita baca, dari headline daring hingga kolom opini di koran pagi, tersimpan kerja keras para jurnalis yang menakar fakta dengan nurani dan merangkai kata dengan nurani dan ketelitian. Namun, sayangnya, masih banyak yang lupa bahwa tulisan-tulisan ini bukan sekadar informasi; mereka adalah karya intelektual. Dan seperti karya seni lainnya, tulisan jurnalistik juga punya pemilik, yaitu penulisnya.

Sabtu, 3 Mei 2025

Fenomena Sound Horeg dan Potensi Kekayaan Intelektual di Baliknya

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena sound horeg menjadi tren yang berkembang di tengah masyarakat, khususnya dalam kegiatan hiburan di ruang publik seperti pesta pernikahan, arak-arakan, hingga panggung hiburan rakyat. Atraksi ini memiliki ciri khas menggunakan speaker atau sound system yang memiliki daya besar dan memutar lagu-lagu populer dengan aransemen yang unik, serta terkadang disertai dengan pertunjukan visual atraktif.

Rabu, 30 April 2025

Dirjen KI Dorong Pemda Tanah Datar Gencarkan Promosi Songket Pandai Sikek dan Potensi KI Lain

Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (Dirjen KI) Razilu, melakukan audiensi ke kantor Wali Kota Tanah Datar pada 30 April 2025. Dalam pertemuan tersebut, agenda utama yang dibahas adalah penguatan promosi produk indikasi geografis (IG) terdaftar Songket Pandai Sikek, serta pemanfaatan potensi kekayaan intelektual (KI) lainnya di Kabupaten Tanah Datar.

Rabu, 30 April 2025

Selengkapnya