Jakarta - Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menyoroti semakin masifnya peredaran barang palsu di berbagai lini perdagangan di Indonesia. Produk-produk ini dijual secara terbuka, baik secara daring maupun luring, dari e-commerce hingga kios pinggir jalan.
Peredaran barang palsu tersebut terbukti melanggar sejumlah aturan dalam Undang-Undang (UU) terkait Kekayaan Intelektual (KI), seperti UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, UU Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, serta UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Ancaman sanksi terhadap pelaku bervariasi, mulai dari denda hingga pidana penjara maksimal 10 tahun, terutama jika barang tersebut membahayakan kesehatan atau lingkungan.
Direktur Penegakan Hukum DJKI Arie Ardian menegaskan bahwa peredaran barang palsu merupakan pelanggaran serius yang merusak ekosistem perdagangan dan mencederai hak pelaku usaha sah. “Maraknya barang palsu di pasaran tidak hanya bertentangan dengan hukum, tetapi juga merusak reputasi dan pasar pelaku usaha yang telah berinvestasi secara legal. Ini adalah ancaman nyata bagi industri kreatif dan perekonomian nasional,” ujar Arie.
Arie menambahkan bahwa tingginya permintaan atas barang palsu didorong oleh harga murah dan kemudahan akses distribusi, terutama di ranah digital. Berdasarkan laporan INTA (International Trademark Association) di tahun 2018, 73% Gen Z di Indonesia mengaku lebih mudah menemukan produk palsu dibandingkan produk asli, dan 87% pernah membeli barang tiruan. Rendahnya kesadaran hukum dan anggapan bahwa membeli barang palsu bukan tindakan ilegal turut memperparah kondisi ini.
Tantangan dalam menindak peredaran barang palsu juga tidak sedikit. Selain delik aduan yang mengharuskan laporan dari pemilik merek, proses pelacakan pelaku online sangat sulit karena identitas anonim. Belum lagi masih banyak pemilik merek yang belum mendaftarkan KI-nya di Indonesia, membuat upaya penegakan hukum menjadi terbatas.
Sebagai upaya represif, DJKI telah melakukan pemusnahan berbagai barang bukti hasil pelanggaran KI senilai lebih dari Rp 5 miliar, termasuk produk tiruan dari merek terkenal. Pemusnahan ini dilakukan untuk memberikan efek jera kepada pelaku.
Langkah preventif juga dilakukan melalui program Sertifikasi Pusat Perbelanjaan Berbasis KI, yang sejak 2022 telah menjangkau lebih dari 100 pusat perbelanjaan di seluruh Indonesia. Program ini mendorong mal-mal untuk tidak memperdagangkan barang palsu dan memberikan insentif reputasi bagi pelaku usaha yang patuh hukum.
Meski regulasi telah dinilai memadai, DJKI menilai bahwa penindakan hukum akan optimal jika disertai peningkatan kesadaran masyarakat, kolaborasi antar lembaga, serta penguatan teknologi pengawasan. “Kami mendorong masyarakat untuk selalu waspada terhadap produk palsu, memeriksa keaslian produk, dan membeli di gerai resmi. Pelindungan KI adalah tanggung jawab bersama,” kata Arie Ardian menutup.
DJKI juga mengajak pemilik merek untuk aktif mendaftarkan KI-nya dan melaporkan setiap pelanggaran, agar negara dapat hadir memberikan pelindungan hukum yang tegas dan efektif. (CRZ)
Sebuah desain tak sekadar estetika visual, namun juga memiliki nilai ekonomi. Inilah gagasan utama yang diangkat dalam OKE KI Seri Webinar #24 bertema “Nilai Daya Saing Desain Industri dalam Bisnis Furniture” yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum pada Senin, 14 Juli 2025. Dalam kegiatan yang berlangsung interaktif ini, praktisi desain furniture dan akademisi Universitas Tarumanegara, Eddy Supriyatna Marizar hadir sebagai narasumber.
Senin, 14 Juli 2025
Dalam rangka memperingati Tahun Baru Islam 1447 Hijriah, Dharma Wanita Persatuan (DWP) Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) menyelenggarakan kegiatan Bakti Sosial dan Tadabbur Alam dengan mengusung tema Membangun Semangat Hijrah dalam Meningkatkan Iman dan Amal Sholeh di Yayasan As-Zalika, Kabupaten Garut, Jawa Barat, pada Kamis, 10 Juli 2025.
Kamis, 10 Juli 2025
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) melihat masih kecilnya jumlah perguruan tinggi yang mengajukan paten di Indonesia dibandingkan keseluruhan jumlah universitas Indonesia. Meskipun secara keseluruhan perguruan tinggi menyumbang lebih dari 50% permohonan paten dalam negeri, baru sekitar 153 perguruan tinggi yang memegang paten. Fakta ini menjadi perhatian penting bagi DJKI dalam upayanya mewujudkan ekosistem kekayaan intelektual (KI) yang merata dan produktif.
Kamis, 3 Juli 2025
Selasa, 22 Juli 2025
Kamis, 24 Juli 2025
Kamis, 24 Juli 2025