Jakarta – Penggunaan nama negara sebagai bagian dari merek dagang dan/atau jasa menjadi perbincangan hangat di dunia kekayaan intelektual (KI). Di era sekarang, banyak pelaku usaha yang ingin memanfaatkan nama negara untuk membangun citra merek yang kuat dan terpercaya. Namun, di sisi lain, negara juga memiliki kepentingan untuk melindungi identitas nasionalnya agar tidak disalahgunakan atau disalahartikan oleh pihak tertentu.
Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (Dirjen KI) Razilu menegaskan, regulasi di Indonesia mengatur ketat pendaftaran merek yang mengandung nama negara untuk mencegah penyalahgunaan dan potensi menyesatkan konsumen. Penggunaan nama negara dalam merek dagang dan/atau jasa bukan hanya soal estetika atau strategi pemasaran, tetapi juga menyangkut aspek hukum yang kompleks.
Regulasi Ketat dalam Penggunaan Nama Negara sebagai Merek
Razilu menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU MIG) telah menetapkan batasan penggunaan nama negara dalam merek. Berdasarkan Pasal 21 ayat (2) huruf (b), permohonan merek dapat ditolak apabila mengandung tiruan atau menyerupai nama, singkatan nama, bendera, lambang, simbol, atau emblem suatu negara, kecuali mendapat izin tertulis dari pihak yang berwenang.
“Prinsipnya, nama negara bisa digunakan sebagai merek, tetapi harus mendapatkan persetujuan dari otoritas yang berwenang. Hal ini bertujuan untuk melindungi kepentingan negara dan menghindari kebingungan di masyarakat,” ujar Razilu dalam wawancara singkat di gedung Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) pada Selasa, 1 Juli 2025.
Lebih lanjut, Razilu menegaskan bahwa merek yang menggunakan nama negara tidak boleh bersifat menyesatkan atau deskriptif terhadap barang dan/atau jasa yang ditawarkan. Pihaknya menjelaskan sebuah merek akan ditolak apabila berpotensi memperdaya konsumen tentang asal geografis produk.
“Merek Swiss Watch untuk produk jam tangan didaftarkan oleh perusahaan dari negara lain, Indonesia misalnya, kemungkinan besar akan ditolak karena dapat memberi kesan bahwa produk tersebut berasal dari Swiss, padahal belum tentu demikian,” jelas Razilu.
Di Indonesia, beberapa merek yang mengandung kata yang merujuk pada negara, seperti American Standard atau American Tourister, tetap dapat didaftarkan. Menurut Razilu, Hal ini dikarenakan istilah “American” dalam merek tersebut dianggap sebagai kata sifat yang mendeskripsikan sesuatu, bukan sebagai nama negara secara langsung.
“Penggunaan nama negara dalam merek harus dianalisis konteksnya terlebih dahulu. Jika merujuk langsung pada suatu negara, maka diperlukan izin. Namun, jika hanya bersifat deskriptif dan tidak menyesatkan, maka masih ada kemungkinan untuk diterima,” kata Razilu.
Namun, untuk nama negara seperti Indonesian Airlines misalnya, penerapannya bisa lebih ketat. Jika merek tersebut membuat publik percaya bahwa layanan tersebut merupakan maskapai nasional Indonesia, tanpa izin resmi dari pemerintah, maka dapat berpotensi ditolak.
Kasus-Kasus Penolakan dan Penegakan Hukum
Menurut Razilu, sejauh ini DJKI telah menangani berbagai kasus penolakan merek yang mengandung nama negara. Salah satunya adalah penolakan permohonan pendaftaran merek bernomor D002015040642 karena menggunakan simbol dan nama Swiss pada merek Swiss Marine tanpa persetujuan otoritas terkait. Kasus ini menunjukkan bahwa regulasi diterapkan secara ketat untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan nama negara.
“Sebagai langkah preventif, UU MIG memberikan hak atau kesempatan kepada setiap pihak untuk mengajukan keberatan/oposisi terhadap permohonan pendaftaran merek yang sedang dalam masa pengumuman (publikasi). Selain itu, para pemeriksa merek yang bertugas dalam pemeriksaan substantif dapat menolak permohonan yang menggunakan nama negara dan memenuhi unsur sebagaimana Pasal 20 huruf b dan huruf c, jo. Pasal 21 Ayat (2) huruf b UU MIG,” papar Razilu.
Selain itu, dalam konteks penegakan hukum, UU MIG memberikan ruang bagi pihak yang berkepentingan untuk mengajukan gugatan pembatalan atau penghapusan merek yang dianggap melanggar ketentuan.
“Jika ditemukan penyalahgunaan, pemegang merek bisa menghadapi konsekuensi hukum, termasuk tuntutan di Pengadilan Niaga,” tambah Razilu.
DJKI dan Aturan Internasional
Pengaturan mengenai penggunaan nama negara sebagai merek bukan hanya diterapkan di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lain. Pasal 6ter Konvensi Paris mengatur bahwa negara anggota wajib menolak pendaftaran merek yang menggunakan nama negara tanpa persetujuan.
Di Thailand, Malaysia, dan Singapura, aturan serupa juga berlaku. Thailand, misalnya, melarang pendaftaran merek yang menggunakan nama negara kecuali ada izin resmi. Di Malaysia, kantor merek (registrar) dapat menolak permohonan merek yang hanya terdiri dari nama negara. Sementara di Singapura, penggunaan bendera suatu negara dalam merek tidak dapat didaftarkan tanpa izin.
“Sebagai anggota World Trade Organization (WTO), Indonesia juga menerapkan prinsip Most-Favoured Nation (MFN) dan National Treatment, yang menjamin perlakuan setara bagi semua pihak dalam pendaftaran merek. Kedua prinsip ini bertujuan untuk menciptakan perdagangan di dunia internasional yang adil dan setara,” tutur Razilu.
Selanjutnya, Razilu memberikan beberapa saran bagi pelaku usaha yang ingin menggunakan nama negara dalam merek mereka agar tetap sesuai dengan regulasi yang berlaku.
“Pastikan untuk memperoleh izin tertulis dari otoritas yang berwenang jika menggunakan nama negara secara langsung. Selain itu, pelaku usaha harus memastikan bahwa merek mereka tidak menyesatkan konsumen terkait asal geografis produk,” kata Razilu.
Penggunaan nama negara dalam merek bukan hal yang dilarang sepenuhnya, tetapi diatur dengan ketat demi melindungi kepentingan publik dan menghindari potensi penyesatan konsumen. Regulasi ini bukan sekadar formalitas, melainkan upaya melindungi kepentingan negara, konsumen, dan pelaku usaha itu sendiri. Dengan memahami aturan yang berlaku, pelaku usaha dapat menghindari potensi sengketa hukum dan membangun merek yang lebih kredibel di pasar.
“Dengan regulasi yang sudah selaras dengan standar internasional, DJKI memastikan bahwa kebijakan ini memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha, sekaligus menjaga integritas identitas negara di ranah bisnis global,” pungkas Razilu.
Majelis Pengawas Konsultan Kekayaan Intelektual (MPKKI) menggelar rapat pleno pada Selasa, 1 Juli 2025, bertempat di Toeti Roosseno Plaza, Jakarta Selatan. Agenda rapat membahas pemeriksaan terkait konsultan kekayaan intelektual (KI). Rapat ini dipimpin langsung oleh ketua MPKKI Razilu dan diikuti oleh para anggota MPKKI untuk menindaklanjuti proses pengawasan konsultan KI sesuai prosedur yang berlaku dan dilaksanakan secara hybrid online dan offline.
Selasa, 1 Juli 2025
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) menghadiri Seminar Kekayaan Intelektual yang diselenggarakan oleh Badan Arbitrase–Mediasi Hak Kekayaan Intelektual (BAMHKI) dengan tema Peran Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa Kekayaan Intelektual pada Selasa, 1 Juli 2025, di Auditorium Toeti Roosseno Plaza, Jakarta.
Selasa, 1 Juli 2025
Pemerintah Republik Indonesia melalui Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual, Razilu, menyampaikan keterangan resmi mewakili Menteri Hukum Supratman Andi Agtas dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin, 30 Juni 2025. Dalam kapasitasnya sebagai kuasa hukum Presiden RI, pemerintah menegaskan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU HC 2014) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 45).
Senin, 30 Juni 2025
Selasa, 1 Juli 2025
Selasa, 1 Juli 2025
Selasa, 1 Juli 2025