Kementerian Hukum dan HAM Upayakan Peningkatan Kesejahteraan Penulis melalui Permen Royalti Buku

Jakarta - Selama ini, tidak semua penulis buku dapat hidup dari karyanya. Hal ini karena sistem penarikan royalti dan penghargaan terhadap karya tulis belum diatur dengan baik oleh negara.

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) saat ini tengah menyusun Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) terkait royalti bidang buku untuk memperjelas peraturan terkait pengelolaan royalti karya tulis dari Undang-Undang nomor 28 Tahun 2014.

“Ketentuan teknis di bawah undang-undang harus dipertegas, bagaimana lembaga manajemen kolektif (LMK) melakukan penarikan dengan metode atau pola yang dilakukan,” tutur Kepala Sub Direktorat Pelayanan Hukum dan Lembaga Manajemen Kolektif, Agung Damarsasongko saat diwawancarai pada Rabu, 8 Desember 2021.

Agung menambahkan bahwa Permenkumham ini juga akan mengatur terkait kepentingan buku dalam bidang pendidikan. Dalam UU nomor 28 tahun 2014 tentang hak cipta pada pasal 44 menyebutkan bahwa seseorang boleh menggunakan penggunaan ciptaan untuk kepentingan pendidikan selama tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta.

“Banyak orang salah menafsirkan pasal ini, banyak orang menduplikasi ataupun menggandakan untuk kepentingan pendidikan boleh saja, tapi dengan jumlah tertentu, ada hal-hal yang harus diatur ketika dia harus menggandakan lebih dari satu buku,” tutur Agung Damarsasongko.

Lanjutnya, menurut Agung ada hal-hal yang harus diatur ketika harus menggandakan lebih dari satu buku, maka ada royalti yang harus dibayarkan. Dalam hal penarikan maupun pendistribusian royalti saat ini dikelola oleh perkumpulan reproduksi cipta Indonesia (PRCI).  Soal karya tulis dalam bentuk digital, baik itu e-book, blog, ataupun aplikasi, Agung mengatakan bahwa akan ada aturan juga terkait hal ini yang sedang dibahas. Sebagai aturan baru, sudah selayaknya Permenkumham ini mengikuti perkembangan teknologi.

Namun aturan pengumpulan dan pendistribusian royalti bidang buku ini tentu tidak akan berarti banyak tanpa kesadaran masyarakat dalam menghargai karya cipta. Permenkumham tidak dapat memastikan penulis menjadi lebih sejahtera jika semua pihak tidak mengambil peranan dalam mengampanyekan pembayaran royalti.

“Memberikan kesadaran dahulu kepada penulis pentingnya mereka bergabung kepada LMK, bergantung kepada semua pihak untuk kesuksesannya. Kesadaran semua pihak dan dukungan DJKI untuk melakukan sosialisasi adalah kuncinya,” ujar Agung Damarsasongko.

Sementara itu, Ketua Umum Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI), Candra Darusman sebagai pakar KI yang ditemui saat kegiatan pembahasan Rancangan Permenkumham tentang royalti bidang buku pada 18 November 2021 lalu menyambut baik inisiasi DJKI untuk rancangan Permenkumham terkait pengelolaan royalti buku ini. Candra berharap Permenkumham ini dapat memperjelas pasal-pasal yang sudah ada sebelumnya.

“Upaya ini sangat penting dan pada waktunya tepat sekali, yaitu berupaya untuk memperjelas aturan pada undang-undang hak cipta khususnya mengenai pembatasan dan pengecualian,” ujar Candra Darusman.

Selaras dengan itu, di kesempatan yang sama Ketua Perkumpulan Reproduksi Cipta Indonesia, Kartini Nurdin menyambut baik rancangan Permenkumham terkait pengelolaan royalti buku ini sebab DJKI sudah memikirkan kepentingan penulis dan penerbit.

“Saya berharap mudah - mudahan ini bisa memberikan keuntungan kepada penulis dan penerbit agar lebih bergairah dalam berkarya,” tutur Kartini.

Peraturan yang memadai, tidak sekadar menghargai dan mengakui eksistensi para pencipta dan kreator, akan tetapi juga melindungi hak-hak ekonomi mereka. Penghargaan atas karya kreatif dan pelindungan hak ekonomi akan mendorong lahirnya karya dan kreativitas baru yang puncaknya menjadi kreativitas makro yang cerdas dan unggul.

Sebagai informasi, buku atau karya literasi secara umum merupakan salah satu jenis ciptaan yang dilindungi sebagai kekayaan intelektual (KI). Dalam sebuah ciptaan terdapat hak moral dan hak ekonomi pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait.
 Hak moral adalah hak untuk dicantumkan namanya saat karya yang dibuat digunakan oleh pihak lain. Sedangkan untuk hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari penggunaan karya cipta. (vew/kdw)


TAGS

#Hak Cipta

LIPUTAN TERKAIT

Ketika Kata Menjadi Karya: Hak Cipta dan Kebebasan Pers yang Tak Bisa Dipisahkan

Di balik setiap berita yang kita baca, dari headline daring hingga kolom opini di koran pagi, tersimpan kerja keras para jurnalis yang menakar fakta dengan nurani dan merangkai kata dengan nurani dan ketelitian. Namun, sayangnya, masih banyak yang lupa bahwa tulisan-tulisan ini bukan sekadar informasi; mereka adalah karya intelektual. Dan seperti karya seni lainnya, tulisan jurnalistik juga punya pemilik, yaitu penulisnya.

Sabtu, 3 Mei 2025

Fenomena Sound Horeg dan Potensi Kekayaan Intelektual di Baliknya

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena sound horeg menjadi tren yang berkembang di tengah masyarakat, khususnya dalam kegiatan hiburan di ruang publik seperti pesta pernikahan, arak-arakan, hingga panggung hiburan rakyat. Atraksi ini memiliki ciri khas menggunakan speaker atau sound system yang memiliki daya besar dan memutar lagu-lagu populer dengan aransemen yang unik, serta terkadang disertai dengan pertunjukan visual atraktif.

Rabu, 30 April 2025

Dirjen KI Dorong Pemda Tanah Datar Gencarkan Promosi Songket Pandai Sikek dan Potensi KI Lain

Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (Dirjen KI) Razilu, melakukan audiensi ke kantor Wali Kota Tanah Datar pada 30 April 2025. Dalam pertemuan tersebut, agenda utama yang dibahas adalah penguatan promosi produk indikasi geografis (IG) terdaftar Songket Pandai Sikek, serta pemanfaatan potensi kekayaan intelektual (KI) lainnya di Kabupaten Tanah Datar.

Rabu, 30 April 2025

Selengkapnya