Merek Sebagai Reputasi, Pelindungan, dan Jalan Menuju Pasar Global

Jakarta - Di tengah semakin ketatnya persaingan produk lokal dan global, pendaftaran merek menjadi langkah strategis yang tidak dapat ditunda. Menurut Direktur Merek dan Indikasi Geografis, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Hermansyah Siregar, merek tidak hanya sebagai identitas bisnis, tetapi juga sebagai simbol kualitas, reputasi, dan pelindungan hukum.

“Merek yang didaftarkan bisa menaikkan nilai ekonomi suatu produk secara signifikan. Konsumen akan lebih percaya pada produk yang memiliki identitas resmi, apalagi jika produsennya dikenal memiliki reputasi baik,” ujar Hermansyah dalam podcast What’s Up Kementerian Hukum, Jumat, 20 Juni 2025.

Hermansyah mencontohkan bagaimana produk lokal seperti Athena milik dr. Richard Lee yang didukung oleh reputasi pemiliknya, mampu bersaing dan memperoleh kepercayaan konsumen. Menurutnya, ketika biaya produksi suatu produk sama, nilai jual barang bisa melonjak berkali lipat karena kekuatan merek.

Lebih lanjut, Hermansyah juga menekankan pentingnya prinsip first to file dalam sistem pendaftaran merek di Indonesia. Hal ini sangat penting bagi para pemilik usaha.

“Banyak pelaku usaha yang menunda pendaftaran hingga produknya terkenal. Padahal, begitu merek itu dikenal, justru rawan diklaim pihak lain. Kita punya banyak kasus seperti itu,” katanya.

Mengatasi banyaknya sengketa merek, DJKI menyediakan berbagai mekanisme penyelesaian, mulai dari pengajuan keberatan oleh masyarakat selama masa publikasi dua bulan, hingga pengajuan ke Komisi Banding dan Pengadilan Niaga. Ia menegaskan bahwa semua proses ini transparan dan terbuka untuk publik.

Sementara itu, untuk mempercepat layanan, DJKI kini memangkas waktu pendaftaran merek dari sembilan bulan menjadi enam bulan apabila tidak terdapat kendala, sesuai arahan Menteri Hukum Republik Indonesia. DJKI juga memberikan tarif khusus sebesar Rp500.000 untuk para pelaku usaha mikro kecil dan menengah. 

Selain itu, Hermansyah juga memperkenalkan fasilitas Protokol Madrid, sistem yang memungkinkan pendaftaran merek di lebih dari 130 negara melalui satu pintu di DJKI. Kemudahan ini mendukung para pengusaha lokal untuk melakukan ekspansi ke pasar internasional.

 “Pelaku usaha tidak perlu datang ke setiap negara. Cukup daftarkan ke kami, dan kami fasilitasi agar mereknya bisa dilindungi di berbagai negara,” jelasnya.

Terkait penegakan hukum atas pemalsuan merek, ia menggarisbawahi bahwa sistem hukum Indonesia masih menganut delik aduan. Hal ini berarti tindakan hukum hanya bisa dilakukan apabila ada laporan dari pemilik hak. Sebelum melakukan gugatan, Hermansyah mengimbau untuk melakukan somasi terlebih dahulu.

“Kami memiliki mekanisme mediasi melalui Direktorat Penegakan Hukum. Banyak sengketa merek yang bisa diselesaikan terlebih dahulu tanpa perlu ke pengadilan. Budaya timur kita bisa dimanfaatkan agar lebih efisien dan tidak memakan biaya besar,” tambahnya.

Sementara itu, dari sisi pelaku usaha, dr. Richard Lee—pemilik brand Athena—menyampaikan berbagai tantangan membangun identitas merek di Indonesia. “Membangun merek jauh lebih sulit daripada membangun personal branding diri sendiri. Biayanya tinggi, responnya lambat, tapi hasilnya lebih stabil,” katanya.

Ia menekankan bahwa jika menunggu merek usaha menjadi terkenal baru mendaftarkan, justru akan memancing masalah hukum. “Kalau sudah besar, pasti direbut orang. Banyak sekali kasus seperti itu,” ungkapnya.

Sebagai pebisnis, Richard mengakui bahwa pasar Indonesia yang besar adalah aset penting. Namun ia juga merasakan dampak masuknya produk asing yang sangat murah. “Harga produk luar seperti skin care dari China bisa lebih murah dari biaya produksi kita. Ini jadi ancaman besar untuk pemain lokal,” keluhnya.

Meski demikian, ia mengapresiasi inovasi DJKI seperti Protokol Madrid yang membuka peluang ekspansi merek ke luar negeri. “Ini luar biasa. Kalau benar-benar difasilitasi seperti itu, pelaku usaha akan merasa didukung penuh oleh negara. Kita jadi lebih percaya diri untuk go global,” katanya.

Richard pun menyambut baik adanya fasilitas mediasi tersebut. Pihaknya juga berharap sistem perlindungan merek di Indonesia bisa terus diperkuat agar pelaku usaha lebih percaya diri bersaing, tidak hanya di dalam negeri, tapi juga di pasar global.

Melalui kerja sama antara pemerintah dan pelaku usaha, DJKI berharap semakin banyak merek lokal yang mampu melindungi dirinya secara hukum, memperluas pasar, dan menjadi pemain besar di kancah internasional. Pendaftaran merek kini bukan hanya kebutuhan, tapi sebuah strategi bisnis jangka panjang.



LIPUTAN TERKAIT

Turunkan Tarif Pencatatan Hak Cipta, DJKI Permudah Akses Pelindungan Karya

Dalam upaya meningkatkan kesadaran dan pelindungan hukum terhadap karya intelektual masyarakat, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum resmi menurunkan tarif pembayaran pencatatan hak cipta melalui Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2024.

Rabu, 18 Juni 2025

Edukasi dan Kepatuhan Adalah Kunci Ekosistem Musik yang Berkeadilan

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menegaskan bahwa edukasi mengenai hak cipta dan kepatuhan terhadap mekanisme penggunaan lagu untuk keperluan komersial adalah langkah mendasar dalam membangun ekosistem musik nasional yang sehat dan berkeadilan. Banyak pelaku usaha yang belum memahami bahwa memutar lagu di ruang publik atau menyelenggarakan konser merupakan bentuk penggunaan komersial yang wajib memenuhi ketentuan hukum yang berlaku.

Selasa, 17 Juni 2025

Sosialisasi KI Bagi Masyarakat Umum, DJKI Gelar Pembelajaran Daring

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menggelar pembelajaran Modul Pelindungan Kekayaan Intelektual tingkat dasar secara daring pada 17 Juni 2025. Kegiatan yang dilaksanakan selama dua hari ke depan tersebut diperuntukkan bagi masyarakat umum yang ingin mempelajari lebih dalam terkait kekayaan intelektual (KI).

Selasa, 17 Juni 2025

Selengkapnya