Dola Maludu, sebuah upacara adat sakral yang menjadi identitas masyarakat di Kelurahan Seli, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, kini telah resmi terlindungi sebagai Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) melalui pencatatan di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum. Pencatatan ini menjadi langkah penting untuk memastikan tradisi turun temurun tersebut tidak mudah diklaim atau dimanfaatkan oleh pihak luar tanpa adanya persetujuan komunitas adat sebagai pemilik warisan budaya.
Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Razilu menegaskan bahwa pelindungan KI bukan hanya menempatkan tradisi pada kedudukan hukum yang kuat, melainkan juga memastikan keberlanjutannya.
“Pelindungan Kekayaan Intelektual Komunal seperti Dola Maludu adalah upaya mempertahankan identitas dan kehormatan masyarakat adat. Dengan tercatat sebagai KIK, kita mengakui bahwa budaya ini adalah milik bangsa dan harus dijaga nilai-nilai budaya, sosial serta kemanfaatannya untuk generasi mendatang,” kata Razilu saat ditemui di DJKI Rabu, 12 November 2025.
Berakar dari peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW pada bulan Rabbiul Awal dalam kalender Hijriah. Dola Maludu bukan sekadar ritual religius, ia adalah manifestasi kesetiaan pada leluhur, persaudaraan, dan kedamaian. Tradisi ini dimulai dengan Gahi Yena, ritual mengundang restu leluhur dan menentukan seluruh rangkaian pelaksanaan upacara. Setelah itu, masyarakat mulai menggalang Polu Dati, pengumpulan dana dan bahan makanan secara gotong royong sebagai simbol kebersamaan dan tanggung jawab kolektif.
Beberapa hari menjelang puncak perayaan, anak cucu berkumpul untuk melakukan Paca Eno, yaitu membersihkan goya tempat sakral di tengah hutan. Pada malam yang ditetapkan, mereka menggelar Nyata Ngale, pengecekan kesiapan upacara sembari mengenakan pakaian adat dan berkumpul di rumah adat (fola sou). Seluruh persiapan ini berpuncak pada ritual Sobaka Uku, momen paling sakral ketika ketua adat dan pemuka adat memanjatkan doa khusus di goya, memohon keberkahan bagi seluruh keturunan dan wilayah.
Usai prosesi di tengah hutan, seluruh peserta kembali ke fola sou untuk mendengarkan pesan kehidupan yang disebut borero gosimo pengingat tentang kebaikan, keadilan, dan ketulusan hati yang sesuai syariat Islam. Ritual dilanjutkan dengan Doa Selamat, di mana imam dan pemuka agama memimpin permohonan keselamatan dan rezeki yang halal bagi seluruh warga. Dua hingga tiga hari kemudian, dilakukan Kali Piga Madoya dan Hele Piga untuk mengganti makanan ritual dan menikmati santapan bersama sebagai simbol berbagi dan syukur.
Rangkaian panjang Dola Maludu ditutup kembali dengan Gahi Yena, sebagai ucapan terima kasih kepada penguasa alam semesta dan leluhur bahwa seluruh ritual berjalan baik. Melalui seluruh proses tersebut, fungsi sosial dan moral budaya ini sangat kuat: memperkuat hubungan kekerabatan (ngofa se dano), menjaga silaturahmi antar generasi, serta meneguhkan keyakinan bahwa hidup harus dijalani dengan keikhlasan, hormat, dan kebenaran.
Selain ritual sakral, unsur seni-budaya turut menghidupkan suasana perayaan. Pada momentum tertentu masyarakat menampilkan seni pertunjukan khas Tidore seperti tarian adat, musik tifa dan totobuang, serta paduan lantunan doa dan syair keagamaan, menegaskan bahwa Dola Maludu adalah ruang perjumpaan antara keimanan, seni, dan kearifan lokal.
Pencatatan Dola Maludu sebagai KIK memperkuat posisi masyarakat adat dalam menjaga tradisinya. Status hukum ini menjadi upaya nyata menghadapi tantangan modernisasi dan penurunan minat generasi muda terhadap budaya leluhur. Razilu menegaskan, pelindungan KI juga membuka manfaat ekonomi bagi komunitas pemilik tradisi.
“Ketika budaya terlindungi secara hukum, komunitas adat dapat menjadi pihak utama yang menikmati manfaat ekonominya. Pelestarian budaya harus mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
Kesuksesan pencatatan ini menjadi pengingat bahwa Indonesia masih memiliki ribuan budaya yang menanti pelindungan. Oleh karena itu, DJKI mengajak seluruh pemangku adat dan pemerintah daerah untuk memastikan warisan leluhur mereka tidak lenyap oleh waktu.
“Kami mendorong daerah dan komunitas untuk segera mencatatkan budaya mereka ke DJKI. Inilah langkah awal mempertahankan warisan leluhur agar tetap hidup, dihargai, dan bermanfaat bagi anak cucu kita,” pungkas Razilu.
Dengan tercatatnya Dola Maludu sebagai KIK, masyarakat Seli kini berdiri lebih tegak bahwa identitas dan martabat budaya mereka telah diakui dan dijaga oleh negara. Ini bukan hanya pelestarian tradisi, melainkan investasi besar untuk keberlanjutan peradaban Nusantara.
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menggelar rapat pembahasan penguatan konsep Kantor Kekayaan Intelektual (KI) Kelas Dunia di ruang rapat lantai 10 DJKI pada Senin, 22 Desember 2025 yang dipimpin langsung oleh Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Hermansyah Siregar, bersama pegawai DJKI yang memiliki pengalaman pendidikan dan kerja di luar negeri, termasuk di World Intellectual Property Organization (WIPO). Rapat ini menyoroti tiga isu strategis yang menjadi perhatian utama DJKI, yakni Patent Prosecution Highway (PPH), Publikasi Guideline Pemeriksaan seluruh rezim KI, serta penguatan kerja sama dengan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi serta Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah.
Senin, 22 Desember 2025
Layanan paten yang cepat dan pasti menjadi prasyarat penting bagi inovasi dan daya saing suatu negara. Berangkat dari kebutuhan tersebut, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual atau DJKI menyelenggarakan Pelatihan Pemeriksaan Formalitas Paten di Gedung DJKI, Jakarta pada 22 Desember 2025.
Senin, 22 Desember 2025
Jakarta – Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum (Kemenkum) memperdalam evaluasi kinerja kantor wilayah (Kanwil) melalui Pembahasan Komisi III dalam Rapat Koordinasi Pengendalian (Rakordal) hari kedua yang digelar di Grand Mercure Kemayoran, Jakarta, Selasa, 16 Desember 2025.
Selasa, 16 Desember 2025