IP Talks POP HC Seri Keenam “Hak Cipta vs Merek”

Jakarta - Maraknya kasus pergesekan antara hak cipta dan merek terkait logo yang didaftarkan merupakan akibat dari kurangnya pemahaman masyarakat terhadap kekayaan intelektual (KI) khususnya tentang hak cipta dan merek. Sehingga terjadi kesalahan persepsi mengenai kriteria pendaftaran suatu logo yang seharusnya didaftarkan sebagai merek malah didaftarkan sebagai hak cipta khususnya yang bergerak di dunia usaha.

Oleh karena itu, untuk menjawab persoalan ini, DJKI menggelar Webinar IP Talks POP HC: Hak Cipta vs Merek secara daring pada 27 Juni 2022.

Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Anggoro Dasananto saat membuka webinar mengatakan, di awal tahun era 90an sampai saat ini cukup banyak terjadi gesekan-gesekan antara hak cipta dan merek.

“Banyak kasus-kasus pergesekan atau persinggungan antara hak cipta dan merek, yaitu di mana pada era itu kalau orang mendaftar mereknya ditolak maka ia akan mencatatkan ke hak cipta. Setelah hak ciptanya tercatat maka ia akan menggugat atau melakukan upaya hukum baik itu perdata maupun pidana terhadap pemilik merek yang bersengketa dengannya. Ini sering terjadi dan masih terjadi sampai saat ini,” tambah Anggoro.

Untuk itu, Anggoro berharap kepada para narasumber yang paham mengenai hal ini dan pernah menangani kasus-kasus seperti ini agar memberikan pencerahan kepada peserta webinar. 

“Tidak menutup kemungkinan pergesekan antara hak cipta dan merek dalam kegiatan dunia usaha masih tetap berlangsung, untuk itu kami memohon agar dalam kesempatan ini para narasumber dapat memberikan pencerahan yang komprehensif,”  harapnya.

Ia juga berharap kepada para peserta agar memberikan saran atas permasalahan dan isu-isu terkini yang timbul di masyarakat, sehingga bisa disampaikan pada kesempatan webinar IP Talks POP HC di edisi selanjutnya.

“Tentunya niat kami adalah mengetahui permasalahan apa yang bapak dan ibu alami, terutama permasalahan yang timbul dalam konteks KI. Permasalahan-permasalahan yang kami tampung akan kami  bawakan dalam rapat sehingga bisa memberikan solusi bermanfaat bagi kemaslahatan kita semua,” ucap Anggoro.

Sementara itu, salah satu konsultan KI Gunawan Suryomurcito menjelaskan bahwa hak cipta bertujuan untuk melindungi ciptaan di bidang seni, sastra, dan ilmu pengetahuan, sedangkan merek untuk melindungi tanda-tanda pembeda dari barang atau jasa yang diperdagangkan.



“Kalau untuk tanda pembeda pada barang dan/jasa maka perlu didaftarkan sebagai merek. Lalu kalau ciptaan ditujukan sebagai masterpiece atau ciptaan satu-satunya, misalnya lukisan maka pelindungannya berdasarkan hak cipta,” terangnya.

Ia menjelaskan, hal ini sesuai dengan Pasal 65 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang hak cipta yang menyatakan bahwa pencatatan ciptaan tidak dapat dilakukan terhadap seni lukis yang berupa logo atau tanda pembeda yang digunakan sebagai merek dalam perdagangan barang/jasa atau digunakan sebagai lambang organisasi, badan usaha, atau badan hukum.

Di sisi lain, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Rahmi Jened mengatakan di satu sisi saat orang membuat gambar maka hak ciptanya dilindungi, namun di lain pihak bisa digunakan sebagai usaha maka harus didaftarkan sebagai merek, jadi tergantung tujuan penggunaanya.



“Perbedaan hak cipta dan merek ialah pada hak cipta keaslian dalam kreativitas, ekspresi, perwujudan, first to use dan surat pencatatan ciptaan sebagai bukti awal, sedangkan di merek tanda dengan daya pembeda berupa syarat absolute dan alasan relatif, first to file sertifikat merek bukti hak milik,” ujarnya.



Sebagai informasi, pencatatan ciptaan melalui Sistem POP HC per tanggal 20 Juni 2022 sebanyak 44.413 permohonan. Sistem ini menunjukkan bahwa minat dan kreativitas masyarakat dalam menghasilkan karya ciptaan dan kesadaran untuk melindungi dengan mencatatkan karya ciptaannya cukup tinggi. (dss/syl)


LIPUTAN TERKAIT

Indonesia Ikuti Perundingan WGIP ASEAN–Canada Free Trade Agreement TNC Putaran ke-5

Delegasi Indonesia mengikuti Perundingan Working Group on Intellectual Property (WGIP) ASEAN–Canada Free Trade Agreement (ACAFTA) yang diselenggarakan pada tanggal 25 s.d. 29 September 2023 di Bali Nusa Dua Convention Center. ACAFTA merupakan perjanjian perdagangan bebas antara negara ASEAN dan Kanada di mana salah satu topik yang dibahas dalam perjanjian tersebut mengenai kekayaan intelektual.

Senin, 25 September 2023

DJKI Persiapkan Penyusunan Kurikulum Intellectual Property Academy

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) bekerja sama dengan World Intellectual Property Organization (WIPO) tengah mempersiapkan Intellectual Property (IP) Academy sebagai salah satu sarana untuk menyosialisasikan pengetahuan tentang KI kepada masyarakat secara merata.

Senin, 25 September 2023

DJKI Lakukan Kunjungan ke KBRI Oslo

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia (Kemenkumham RI) melakukan kunjungan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Norwegia di Oslo pada 27 September 2023. Kunjungan tersebut merupakan salah satu agenda dalam rangkaian kegiatan 16th International Law Conference, IP Crime Conference. 

Kamis, 28 September 2023

Selengkapnya