Dirjen KI Canangkan Program Tahun Indikasi Geografis di Indonesia

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) mencanangkan tahun 2018 sebagai tahun Indikasi Geografis (IG) dan merupakan program unggulan DJKI. Tiap Kantor Wilayah Kemenkumham ditargetkan memiliki satu program unggulan terkait IG, yaitu untuk mendaftarkan minimal satu IG dan melakukan inventarisasi kekayaan komunal di wilayah kerjanya.

“DJKI saat ini telah melakukan pemetaan terhadap potensi produk IG selain yang sudah terdaftar. Maklum saja, karena potensi IG di wilyah Indonesia ini begitu banyak,” ujar Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (Dirjen KI), Freddy Harris saat Coffee Morning dengan Media di bilangan Jakarta, Rabu (21/3/2018).

Freddy Harris menjelaskan, pihak DJKI juga terus berupaya untuk mempermudah masyarakat dalam mengajukan permohonan IG. Salah satu caranya adalah dalam waktu dekat DJKI akan segera meluncurkan aplikasi pendaftaran IG secara online.

Sekadar informasi, IG adalah sebuah tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.

“Produk IG terdaftar pada umumnya adalah produk-produk tradisional dihasilkan oleh masyarakat daerah. Dari antar generasi yang telah mendapatkan reputasi di pasar karena kualitas rasa yang spesial,” ucap Freddy.

Agak melihat jauh ke belakang, salah satu sistem IG pertama telah digunakan di Perancis sejak awal abad ke-20, dikenal sebagai sebutan Appellation d'Origine Contrôlée(AOC).

Roquefort menjadi keju pertama yang mendapatkan sertifikasi AOC pada tahun 1925. Adalah keju susu domba dari trah Lacaune Manech dan keturunan Basco-Béarnaise. Walhasil, hanya keju yang disimpan dalam gua-gua Combalou di alam wilayah Roquefort-sur-Soulzon, yang boleh diberi nama Roquefort. Dan jamur yang memberikan citarasa khas Roquefort (Penicillium roqueforti) ditemukan di lapisan tanah gua-gua tersebut.

Freddy Harris menuturkan, bahwa pada tataran internasional perlindungan sistem IG tertuang dalam norma Persetujuan Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), yang merupakan pengembangan dari aturan mengenai Appellation of Origin (“AO”) sebagaimana diatur dalam The Paris Convention for the Protection of Industrial Property 1883 (Konvensi Paris 1883). 

“Sedangkan di Indonesia, IG diatur dalam Pasal 53–Pasal 71, UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis,” ujarnya. Manfaat Produk Dilindungi Sistem Indikasi Geografis
Beberapa produk IG telah banyak yang menembus pasar internasional dan dinikmati oleh konsumen di negara lain. Contohnya adalah produk IG Kopi Toraja dan Ubi Cilembu  yang diminati oleh konsumen di Jepang. Selanjutnya produk berupa, Kopi Gayo, Garam Amed Bali, Pala Siau, dan Lada Putih Muntok yang diminati oleh konsumen di negara-negara Uni Eropa. 

Freddy Harris mengatakan, pasar internasional terkait dengan produk yang bersertifikat IG. Sebab memberikan peluang besar untuk berkontribusi meningkatkan nilai devisa negara. Bagi produk yang sudah memiliki sertifikasi IG produknya bertambah manfaat ekonominya.

“Tengoklah ketika Kopi Arabika Toraja dan Kopi Arabika Gayo, sebelum terdaftar sebagai produk IG. Harga jualnya berada di kisaran harga Rp. 25.000 per kilogram. 

Kemudian setelah terdaftar, saat ini harganya Rp. 120.000 per kilogram. Begitu pula dengan Lada Putih Montok sebelum terdaftar sebagai produk IG kisaran harganya yaitu Rp. 30.000 per kilogram. Dan setelah terdaftar saat ini harganya Rp. 150.000 per kilogram,” ujarnya.

Poin penting penting bagi suatu produk yang  sudah terdaftar sebagai IG. Maka tidak ada yang boleh memakai nama geografis pada produk yang sejenis. Lantaran sudah dijamin keaslian asal suatu produk, dan mengkuti jaminan atas kualitas produk itu. 

Jaminan ini berguna untuk menghindarkan konsumen dari pemalsuan produk dan menjaga reputasi produsen/penjual.

Freddy Harris menambahkan, DJKI juga telah menelusuri masih banyak lagi potensi-potensi produk IG Indonesia yang belum dikembangkan dan didaftarkan, untuk mendapat perlindungan di Indonesia maupun di luar negeri. Salah satunya untuk jenis produk kopi.

“Padahal untuk produksi kopi Indonesia dengan prosentase produksi 6,6% dari produksi kopi dunia, dengan perkiraan luas lahan perkebunan kopi mencapai 1,3 juta hektar. Produksi kopi Indonesia menjadi negara ketiga terbesar di dunia,” tuturnya.

Potensi 300 Jenis Kopi Didaftarkan Indikasi Geografis
Dirjen KI, Freddy Harris mengungkapkan, sebagai penggemar kopi, pasti publik sudah mengenal kopi Gayo, kopi Toraja atau kopi Kintamani. 

Setiap kopi itu memiliki cita rasa berbeda yang khas satu sama lainnya. Atau mungkin mengenal ubi Cilembu yang memiliki rasa khasnya manis seperti madu dan legit serta struktur dagingnya kenyal.

Kemudian seperti jenis beras Adan Krayan. Beras tersebut tumbuh di Kalimantan Timur perbatasan dengan Sarawak. Berasnya lebih putih, seperti beras ketan, rasanya pulen, memiliki tekstur rasa yang enak.

“Namun, tahukah Anda apabila kopi Gayo, kopi Toraja atau kopi Kintamani ditanam di tempat lain yang bukan daerah asalnya. Maka rasanya akan berbeda. Begitu juga dengan ubi Cilembu dan beras Adan Krayan, rasa yang khas dari ubi dan beras tersebut tidak akan muncul apabila ditanam di tempat lain,” ucap Freddy menjelaskan.

“Produk-produk tersebut dipengaruhi citra rasanya karena faktor lingkungan geografis. Faktor alamnya memberikan ciri dan kualitas tertentu,” tambahnya lagi.

Lebih lanjut, Freddy menjelaskan DJKI memperkirakan lebih dari 300 jenis kopi yang ada di Indonesia, baik itu jenis kopi robusta, kopi arabika, dan bahkan dikenal juga dengan jenis kopi liberika.

“Seperti untuk Kopi Liberika Tungkal Jambi dan Kopi Liberika Rangsang Meranti, yang  untungnya sudah terdaftar di Indonesia sebagai IG,” ucapnya.

Sayangnya DJKI saat ini mencatat sudah ada 21 jenis kopi Indonesia yang terdaftar sebagai IG di Indonesia. Padahal melihat masih banyak jenis kopi yang dapat didaftarkan sebagai produk IG di Indonesia

Hal itu mengingat betapa kayanya alam Indonesia dalam bentangan rasa. Maka satu hal yang sangat penting untuk disadari juga adalah IG dilindungi setelah didaftarkan. Masyarakat, Pemerintah Daerah, Kantor Wilayah Kemenkumham perlu bersinergi untuk segera mendaftarkan produk di daerahnya bersertifikasi IG.

“Sehingga hak penggunaannya dilindungi dan dimiliki penuh oleh masyarakat setempat atau lebih luas  lagi oleh Indonesia,” tuturnya mengimbau.


LIPUTAN TERKAIT

Halal Bihalal: Tradisi Positif Untuk Peningkatan Sinergi

Jakarta - Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) senantiasa menjunjung tinggi tata nilai Profesional, Akuntabel, Sinergi, Transparan, dan Inovatif (PASTI)

Kamis, 18 April 2024

DJKI Gelar Pisah Sambut Pimpinan Tinggi di Lingkungan DJKI

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menggelar kegiatan Pisah Sambut Pimpinan Tinggi di lingkungan DJKI pada Selasa, 16 April 2024, di Aula Oemar Seno Adjie, Gedung Eks Sentra Mulia, Jakarta.

Selasa, 16 April 2024

Jadikan Momentum Introspeksi dan Evaluasi Diri, Kemenkumham Gelar Apel dan Halal Bihalal Idulfitri 1445 Hijriah

Untuk mengawali kerja pasca libur Hari Raya Idulfitri 1445 Hijriah, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menggelar apel pagi sekaligus halal bihalal secara hybrid yang dilaksanakan pada Senin, 16 April 2024 di Lapangan Upacara Kemenkumham Jakarta.

Selasa, 16 April 2024

Selengkapnya